Selasa, 07 Mei 2013

Kado Ulang Tahun Mama

Kado Ulang Tahun Dari Mama
 


Setiap tanggal 7 Juni Mama selalu merayakan ulang tahunku.  Pada ulang tahunku yang ke 12, mama memberiku sebuah kado yang sangat menarik. Sebuah sepeda mini termahal yang pernah dijual di Indonesia.
Aku senang menerima hadiah dari mama.  Bukan saja karena harganya yang sangat mahal, tetapi juga  karena mama memperbolehkan aku bersepeda ke sekolah.
"Ketika usiamu menginjak 12 tahun engkau boleh bersepeda ke sekolah," kata mama suatu hari.
"Kenapa harus menunggu usia 12 tahun?" aku bertanya dengan kesal.
"Tubuhmu kecil Nita.  Kalau engkau bersepeda pada usia 10 tahun, aku khawatir akan keselamatanmu.  Kendaraan yang begitu padat selalu menghantuiku."
Akhirnya aku memaklumi kekhawatiran mama.
Kini aku boleh bersepeda ke sekolah.  Teman-temanku menyambutku dengan riang.  Mereka senang karena aku mempunyai sepeda baru.
"Aku boleh pinjam ya Nita?" seru Triana sambil mendekatiku.
"Aku juga ya Nita?" kata yang lain.
Aku mengangguk lemah.  Bukan aku tidak mau memberi pinjaman kepada teman.  Aku khawatir mereka tidak bisa bersepeda dengan baik.  Jika jatuh tentu sepedaku lecet, atau ada bagian yang rusak.  Tapi tak mungkin aku menolak keinginannya. 
"Tapi hati-hati ya!" seruku mengingatkan.
Triana senang sekali ketika aku mengijinkan dia naik sepeda.  Selama ini dia tidak pernah mempunyai sepeda.  Kalau ingin naik sepeda selalu pinjam teman.  Biasanya teman-teman jarang yang memberi pinjaman.  Alasannya sederhana saja, takut sepedanya rusak.
Aku hanya melihat-lihat Triana bersepeda.  Suatu saat hampir saja ia jatuh, tapi aku berhasil menangkapnya.  Setelah itu aku tidak memperbolehkannya lagi.  Setelah Triana kini Nunung yang pinjam.  Karena aku sudah berjanji untuk memberikan pinjaman maka kuberikan sepeda kesayanganku.
Nunung lebih mahir bersepeda dari pada Triana, walaupun begitu dia agak ugal-ugalan.  Di tempat yang sempit pun dia berani naik sepeda.  Karena sikapnya yang ugal-ugalan itu maka ia terjatuh.  Aku menjerit tapi Nunung hanya tersenyum saja.
"Wah...pasti aku dimarahi mama," kataku kepada Nunung.
"Ah begitu saja marah.  Mana mungkin mamamu akan marah?  Bukankan kamu anak kesayangan?" kata Nunung tanpa memperdulikan perasaanku.
"Enak saja kamu berbicara.  Di rumah pasti mama memarahiku.  Bisa-bisa aku tidak boleh naik sepeda lagi."
Ketika pulang sekolah hatiku bimbang.  Pikiranku hanya teringat mama.  Kalau aku bercerita terus terang tentu mama akan marah, tapi jika aku berbohong aku merasa berdosa. Kini sayap depan sepedaku terkelupas sedikit.  Mama pasti akan mengetahuinya.  Karena itu aku akan bercerita terus terang.
"Bagaimana Nita enak kan memakai sepeda baru?"
Aku mengangguk.
"Lho, kenapa wajahmu kusam?  Ada apa, sayang?"
Aku secepatnya menjelaskan masalahnya.  Hatiku bimbang.
"Jadi temanmu yang jatuh?"
Aku mengangguk.
"Semahal apapun sepeda tidak lebih baik dari persahabatan," kata mama dengan wajah tenang.
"Maksud mama?"
"Jangan risaukan semua itu.  Mama memang memberimu hadiah ulang tahun, tapi mana mungkin engkau sendiri yang akan naik sepeda?  Bukankah teman-temanmu juga ingin mencobanya?"
Sungguh aku malu kepada Nunung.  Ketika Nunung menjatuhkan sepedaku, aku cemberut dan marah-marah.  Ternyata mama justru sebaliknya.
"Apakah engkau memarahi Nunung?"
"Tentu saja Ma.  Aku sayang sekali dengan sepeda baru itu.  Mama membelinya dengan uang yang sangat banyak."
Mama tertawa mendengar pengakuanku.
"Nita, Nita...sekali lagi mama katakan...jangan engkau tukar persahabatan dengan sebuah sepeda.  Jika engkau tidak mempunyai teman, pasti engkau susah.  Tetapi jika kamu bersepeda dengan sepeda yang rusak sedikit, engkau masih tetap bahagia."
Keesokan harinya, aku buru-buru menemui Nunung.  Aku ingin minta maaf karena aku marah-marah kepadanya.  Tetapi kata Triana, Nunung tidak masuk sekolah karena takut telah merusak sepedaku.  Aku mengajak Triana ke rumah Nunung.  Begitu tahu kedatanganku, Nunung berlari masuk ke rumahnya.
"Nunung, aku datang untuk minta maaf kepadamu.  Mama tidak memarahiku, mama maklum kesalahanmu.  Karena itu aku kemari ingin minta maaf."
Tak berapa lama, Nunung keluar dari kamarnya dan segera memelukku.
"Maafkan aku, Nita.  Aku telah merusak sepeda kesayanganmu!"
"Maafkan aku juga Nung.  Aku terlalu emosi!"
Kami menjadi teman baik kembali.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More